Thursday, October 8, 2015

Book Review - Norwegian Wood by Haruki Murakami


  

Judul: Norwegian Wood (Noruwei no Mori)
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Jonjon Johana
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Format: Paperback
Halaman: 426 pages
Skor: ♥♥♥♥♥/ 5

...betapa pun kita melakukan yang terbaik, seseorang kalau sudah waktunya terluka, akan terluka juga. Itulah hidup. Mungkin terkesan menggurui, tapi kamu juga sudah saatnya mempelajari cara hidup seperti itu. Kamu kadang-kadang terlalu memaksakan diri untuk menarik kehidupan kedalam caramu sendiri. Kalau kamu tidak ingin masuk rumah sakit jiwa, coba bukalah sedikit hatimu, dan pasrahkan dirimu mengikuti alir kehidupan.-page 391 

I finished Norwegian Wood around 3am and went blank like 2 hours lying down in the bed and stared at the ceiling. The whole story really hook me up. I felt so lost in that 2 hours. And then I decided to write the most proper review than I ever did. I should take it seriously because this book is really deserved it. 


Mungkin ini adalah novel pertama yang aku baca, yang betul-betul meninggalkan kesan melankolis. Kalau boleh kubilang, ceritanya lembut sekali. Tapi agak seram mengingat begitu gampangnya manusia memutuskan untuk bunuh diri sebagai jalan akhir penyelesaian masalah yang bahkan, mereka sendiri belum begitu mengerti dimana letak permasalahannya. Karena berdasarkan interpretasiku, Kizuki memiliki hidup yang fine-fine saja. Tidak ada indikasi broken home, hanya kurang pandai bersosialisasi. Dan kupikir, tiadanya penjelasan yang jelas mengenai hal ini merupakan satu-satunya lubang hitam dari keseluruhan isi novel. Karena bagaimanapun, peristiwa bunuh dirinya Kizuki ini menjadi awal dari seluruh kisah didalam buku. Tapi, yah, terserah Murakami sensei ajalah ahahaa....

Butuh waktu yang lumayan lama sampai aku bisa menulis review tentang novel ini. Karena pertama, aku masih merasa terombang-ambing sama alur novel ini. Kedua, aku agak susah untuk mengekspresikan apa yang aku rasakan seusai membaca novel ini. Hampir seminggu lebih aku terbawa mellow secara non-stop ketika selesai baca, yang bikin pacarku bingung setengah mati. Waktu dia tanya kenapa tingkahku jadi aneh begitu, aku bilang aku habis baca Norwegian Wood dan masih sedih sama ceritanya. Tapi dia malah ketawa dan bilang dulu waktu masih jadi mahasiswa S1 dan aktif di organisasi gerakan, dia pernah baca Norwegian Wood. Tapi hanya sampai pertengahan, dia berhenti dan memutuskan untuk memusuhi buku itu. Kutanya kenapa? Dia diam saja. Tapi sebenarnya aku tahu jawabannya. Ada part dalam Norwegian Wood yang menyindir organisasi pergerakan mahasiswa berbasis paham Marxis. Hahahahahaha, pasti dia merasa tersindir karena pada waktu itu, dia ketua organisasi Marxis akut. Lucu banget :3

Sedikit penjelasan tentang background novel ini, pada usia 17 tahun Toru Watanabe memiliki sahabat bernama Kizuki dan Naoko yang adalah sepasang kekasih. Kizuki dan Naoko sudah berteman sejak kecil dan tanpa disadari mereka berpacaran begitu saja. Pada suatu malam, Kizuki yang masih berusia 17 tahun itu bunuh diri dengan cara menghirup gas beracun didalam mobil. Alasannya, kurang dijelaskan di dalam buku. Hanya diceritakan samar-samar bahwa Kizuki memiliki kekhawatiran akan masa depannya karena tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Secara, Kizuki dari lahir sampai SMA kelas 2 hanya punya 2 sahabat yaitu Naoko dan Toru Watanabe. Setahun setelah kematian Kizuki, Watanabe berkuliah di Tokyo dan bertemu dengan Naoko setelah setahun itu kehilangan kontak. Disini Watanabe mulai membangun perasaan pada Naoko. Namun ternyata, dampak dari kematian Kizuki sangat besar terhadap kondisi kejiwaan Naoko. Meski begitu, Watanabe yakin seiring berjalannya waktu Naoko akan sembuh dan melupakan Kizuki. Naoko pun tampaknya ingin memulai lagi hidupnya bersama Watanabe, untuk itulah Naoko berusaha menyembuhkan diri. Disela-sela hubungannya yang rumit dengan Naoko, Watanabe bertemu dan berteman dengan Midori, teman kelasnya dalam mata kuliah Sejarah Drama II. Nah, disinilah masalah dimulai. Tetapi, kalau ada yang berpikir bahwa hubungan Watanabe, Naoko, dan Midori adalah semacam cinta segitiga ala-ala novel pada umumnya, hmm... hidup kalian berarti kurang imajinasi. Sana piknik dulu.

Aku tidak akan bercerita banyak-banyak tentang isi novel karna tugasku disini adalah mengomentarinya, bukan menulis ulang. Yang paling membuat aku takjub disini adalah budaya Harakiri orang Jepang. Total ada 4 orang yang mati bunuh diri di novel ini, ckck. Dan semuanya bunuh diri di usia muda. Kalau kubilang, buku ini lumayan berat karna kita mau gak mau akan berusaha menganalisis kondisi psikis tokoh-tokohnya untuk bisa memahami kenapa tokoh yang ini bertingkah seperti itu (atau cuma aku saja yang begini? kekeke.). Aku juga merasa kita diajak untuk berjalan, menikmati pemandangan, kemudian ditinggalkan untuk tersesat hanya agar kita terus bertanya-tanya. Perasaanku sewaktu membaca buku ini antara sedih, kesepian, penasaran, getir, takut, pokoknya segala yang abu-abu deh. Kalau ada yang menganggap merasa seperti ini ketika membaca buku adalah lebay, berarti dia bukan pembaca sejati. Dia hanyalah pembaca sepintas yang membaca dengan tujuan untuk pamer dan bergaya. Hmph.

Norwegian Wood adalah novel yang rumit. Tapi bukan rumit yang membuat pusing kepala, tetapi rumit karena kita menyadari bahwa pada dasarnya hubungan antara perasaan dan logika itu sangat pelik. Kita tidak pernah dituntut untuk memahami bagaimana cara hati dan otak berinteraksi, hanya mengerti bagaimana mereka terkoneksi. Novel ini menyoroti sisi psikologis tokoh-tokohnya, menggambarkan bagaimana mereka mengambil keputusan dan tindakan terhadap persoalan yang dihadapi. Disini juga seperti diperlihatkan bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan oleh waktu. Bahwa terkadang waktulah yang justru memperparahnya. Ending buku yang menggantung semakin bikin frustasi. Because of that, I felt so lost after read this book about one week. Biasanya, dihadapkan pada ending yang menggantung begitu selalu bikin aku emosi and then badmouthing about it in every single occasion. Tapi anehnya untuk buku ini aku merasa, "Oke, cukup. Memang harus seperti itu." aku menerima endingnya karna berpikir, gak akan ada ending yang cukup bagus untuk cerita seperti ini. Whoa, i'm so in love with Norwegian Wood!

Sementara itu untuk explicit content di buku ini, aku no comment. I'm fine with that and think about it as literature material. Yang kutahu, banyak yang merasa jijik dan benci terhadap bagian-bagian vulgar tersebut karna hahaha itu tersebar dari awal sampai akhir buku. Those who complained must be feel holier than the rest of human kind.  

No comments:

Post a Comment