Tuesday, March 8, 2016

Book Review - Anna And The French Kiss by Stephanie Perkins


  

Judul: Anna And The French Kiss
Penulis: Stephanie Perkins
Penerjemah: Mery Riansyah
Penerbit: Pustaka Bahtera (Laluna)
Format: Paperback
Halaman: 473 pages
Skor: ♥♥♥/ 5


Dalam perjalanan kami kembali ke meja, Amanda memperhatikan St.Clair dari dalam pagar betis berupa Orang-Orang Necis Rupawan. Aku tidak kaget melihat si rambut peselancar bermata galak duduk di sebelahnya. St.Clair sedang membahas mengenai kelas -apa-apa yang kuharapkan dihari pertama, siapa-siapa saja gurunya- tapi aku tak lagi mendengarkan. Yang kusadari hanyalah senyum gingsulnya dan cara jalannya yang santai namun percaya diri. 

Ternyata, aku memang setolol cewek-cewek lain. 
-page 43


Anna akan segera menjalani tahun senior di SMA. Dan dia sudah sangat menanti-nantikannya. Kehidupannya di Atlanta oke, dia punya Bridge sebagai sahabat, punya pekerjaan paruh waktu yang lumayan di bioskop, dan punya crush dengan rekan kerjanya, Toph, yang berpotensi untuk berpacaran dengannya. Namun tiba-tiba, secara mendadak ayah Anna -seorang penulis novel yang sedang naik daun, yang bahkan novel-novel ciptaannya telah diangkat ke layar lebar- memutuskan bahwa Anna harus menyelesaikan tahun terakhir SMAnya di sebuah sekolah asrama di Paris, Perancis. Paris! Dan sekolah asrama! Ugh.

Meskipun itu adalah sekolah elite, Anna tetap ogah-ogahan bersekolah disitu. Tapi ya, mau bagaimana lagi. Setibanya di Paris, Anna berkenalan dengan Meredith, teman satu asrama yang tinggal disebelah kamarnya. Dari Meredith, Anna kemudian mendapat beberapa teman baru, salah satunya Etienne St.Clair. St.Clair tampan, blasteran Inggris-Prancis-Amerika, baik hati, agak pendek untuk ukuran cowok, dan punya pacar anak kuliahan (dulunya kakak kelas St.Clair) bernama Ellie.


Sunday, March 6, 2016

Book Review - To All The Boys I've Loved Before by Jenny Han



  

Judul: To All The Boys I've Loved Before
Penulis: Jenny Han
Penerjemah: Airien Kusumawardani
Penerbit: Spring
Format: Paperback
Halaman: 378 pages
Skor: ♥♥♥♥♥/5

"Kalau begitu sebaiknya kau segera pergi," kataku. "Genevieve pasti marah kalau kau terlambat."  
Peter mengeluarkan suara pfft, tapi dia berdiri dengan sangat cepat. Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki pengaruh sebesar itu terhadap seorang cowok. Kurasa aku tidak menginginkannya. Dibutuhkan tanggung jawab yang besar untuk mencengkeram hati seseorang dalam genggamanmu. 
-page 45 

Bacaan ringan yang cantik. Sangat sangat girly. Dan rasanya menyegarkan karena bukan membahas tentang remaja kikuk yang hobi mengasihani diri dan tidak percaya diri. Kepribadian karakter utamanya sungguh menyegarkan dibanding dengan kebanyakan novel remaja ala Amerika yang rata-rata tokoh utamanya adalah gadis minder yang selalu merasa salah kostum, panik setiap jam makan siang karena tidak punya teman yang keren untuk diajak duduk bersama di kantin, dan merasa gagal karena tidak masuk dalam geng cewek populer di sekolah. Hmph. Rasanya kok sungguh sempit dan Amerika sekali. Sementara di novel ini, tokoh utamanya adalah cewek blasteran Korea-Amerika yang wajahnya sangat Asia, hobi memakai baju-baju cute dan girly (yang mungkin memang ala gadis-gadis Asia), tetapi memiliki ayah yang 100% bule kulit putih. Hobi memanggang kue juga menambah nuansa ke-girly-an si tokoh utama.

Thursday, February 4, 2016

Book Review - The Girl On The Train by Paula Hawkins

  

Judul: The Girl On The Train
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Format: Paperback
Halaman: 431 pages
Skor: ♥♥♥/5

Tidak akan ada penyelesaian, tidak ada kesimpulan. Aku berbaring terjaga memikirkannya dan merasa sedih. Mustahil ada penderitaan yang lebih besar, tidak ada sesuatu pun yang lebih menyakitkan daripada ketidaktahuan, yang tak kunjung berakhir.
-Rachel, page 196

Setiap pagi, Rachel selalu menaiki kereta yang sama dan melaju di jalur sama. Hidupnya dulu bahagia, sebahagia pasangan suami istri yang setiap pagi dilihatnya dari jendela kereta ketika kereta berhenti di sebuah perlintasan pinggiran kota London. Kehidupan pasangan suami istri tersebut tampak serasi lagi sempurna di mata Rachel, hingga suatu saat tanpa sengaja Rachel menyaksikan keberlangsungan sebuah adegan yang membuat pandangannya berubah 180 derajat. Pasangan tersebut tak lagi sempurna, tak lagi membuatnya iri, melainkan membuatnya bertanya-tanya; mengapa?

Rasa penasaran ini kemudian mendorong Rachel untuk menghampiri rumah pasangan tersebut, berbekal dengan sebuah kebohongan kecil. Gelembung keingintahuan yang kian membesar tersebut membuatnya terseret dan terlibat dalam kasus yang sedang menyelubungi kehidupan pasangan tersebut. Si wanita ternyata menghilang dan terancam telah tewas entah dimana. Ditambah, kehidupan masa lalu Rachel yang telah hancur hanya berjarak beberapa pintu dari rumah pasangan tersebut. Semakin diselidiki, semakin Rachel tak mengerti dan sementara itu kecanduannya terhadap alkohol semakin menjadi-jadi. Sebenarnya, ada apa?